Beranda | Artikel
Kriteria Bidah
Senin, 23 Februari 2004

KRITERAI BID’AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pengertian bid’ah dan apa kriterianya? Adakah bid ‘ah hasanah? Lalu apa makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya ; Barangsiapa yang menempuh kebiasaan yang baik di dalam Islam … “

Semoga Allah mebalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban
Pengertian bid’ah secara syar’i intinya adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan Allah. Bisa juga anda mengatakan bahwa bid’ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Definisi pertama disimpulkan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’ atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” [Asy-Syura: 21]

Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ‘ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan “ [1]

Jadi, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyaritkan Allah atau dengan seuatu yang tidak ditunjukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa’ur Rasyidin, berarti ia pelaku bid’ah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma’ Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan syarat-syaratnya. Adapun perkara-perkar bisa yang mengikuti kebiasan dan tradisi, maka tidak disebut bid’ah dalam segi agama walapun disebut bid’ah secah bahasa. Jadi yang demikian ini bukan bid’ah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam agama tidak ada yang disebut bid’ah hasanah. Adapun sunnah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan syari’at, dan hal ini mencangkup; seseorang yang mulai melakukan sunnah atau memulai melakukan suatu amal yang diperintahkan atau kembali melakukanya setelah meninggalkannya atau melakukan sesuatu yang memang disunahkan sebagai perantara pelaksanan ibadah yang diperintahkan. Yang demikian ini ada tiga kategori:

Petama: Artinya adalah sunnah secara mutlak, yakni yang memulai suatu amal yang diperintahkan. Inilah sebab munculnya hadist tersebut, dimana nabi Saw menganjurkan untuk bersedekah kepada orang-orang yang datang kepada beliau, karena mereka saat itu sedang dalam kondisi sangat kesulitan, lalu beliau menganjurkan untuk bersedekah. Kemudian datang seorang laki-laki Anshar dengan membawa sekantong perak yang cukup berat ditangannya, lalu ia meletakannya dikediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala yang melakukannya”[2]

Laki-laki tersebut adalah yang melakukan sunnah karena memulai melakukan amal tersebut, bukan berarti memulai membuat amalan baru.

Kedua: Sunnah yang ditinggalkan kemudian seseorang melakukannya dan menghidupkannya. Yang demikian ini disebut melakukan sunnah yang artinya menghidupkannya, tapi bukan berarti membuat amalan baru yang berasal dari dirinya sendiri.

Ketiga: Melakukan sesuatu sebagai perantara pelaksanaan perintah yang disyari’atkan, seperti membangun sekolah, mencetak buku agama dan sebagainya. Yang demikian ini bukan berarti beribadah dengan amalan tersebut, akan tetapi amalan tersebut sebagai perantara untuk melaksanakan perintah yang terkait.

Semua itu termasuk dalam cakupan sabda Nabi,

“Artinya : Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya.”[3]

Tentang masalah ini telah dibahas secara luas di kesempatan lain.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).
[2]. HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017).
[3]. HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017), dan dalam Al-Ilm (1017).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/280-kriteria-bidah.html